PENGARUH KEMAMPUAN
METAKOGNITIF DAN MENTAL VOCATIONAL SKILL
TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA
KELAS XI SMKN 17
JAKARTA
Nurina Hidayati
Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas
Teknik, Matematika dan IPA
Universitas Indraprasta PGRI
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh kemampuan metakognitif dan mental vocational skill terhadap kemampuan
pemecahan masalah matematika. Metode yang digunakan adalah metode survey. Sampel
penelitian meliputi 34 peserta didik dengan teknik pengambilan sampel menggunakan
teknik simple random sampling.
Instrumen penelitian dengan memberikan 22 pertanyaan untuk variabel X1,
15 pertanyaan untuk variabel X2, dan 10 butir soal untuk variabel Y pada
peserta didik kelas XI SMKN 17 Jakarta Tahun Ajaran 2016/2017. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kemampuan
metakognitif dan mental vocational skill
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika, 2) tidak terdapat pengaruh
kemampuan metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika, 3)
tidak terdapat pengaruh mental vocational
skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
Kata Kunci:
Kemampuan Metakognitif, Mental Vocational Skill, Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi persaingan di dunia
semakin ketat. Kualitas sumber daya, khususnya sumber daya manusia menjadi
penentu kemandirian suatu bangsa. Secara tidak langsung suatu bangsa dituntut
untuk mempunyai sumber daya manusia yang mempunyai kualitas tinggi dan mampu
bersaing di era globalisasi. Salah satu wadah untuk menciptakan manusia yang
mempunyai kualitas tinggi adalah dengan pendidikan. Pendidikan menduduki posisi
sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia, sehingga pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan
sumber daya manusia tersebut.
Fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia salah satunya adalah untuk
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, yang cerdas intelektualnya,
kreatif, inovatif, dan mempunyai iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2008: 130), dalam UU No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “dalam kehidupan suatu
bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin
perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan”. Oleh karena
itu, pendidikan perlu dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan teratur serta
pelaksanaan pendidikan didukung oleh partisipasi aktif pemerintah, berbagai
kelompok masyarakat, pihak orang tua dan dewan pendidikan.
Dan salah satu mata pelajaran yang
paling berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah mata
pelajaran matematika. Matematika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang harus
dimiliki oleh peserta didik. Selain sebagai ilmu pengetahuan dasar, matematika
juga merupakan sarana berpikir ilmilah yang sangat diperlukan peserta didik
untuk mengembangkan cara berpikir mereka setelah terjun ke masyarakat. Uno (2011: 129) menyimpulkan bahwa
“matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir,
berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang
unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan
individualitas”.
Melalui matematika peserta didik
diharapkan memiliki potensi yang baik sebagai pribadi anggota masyarakat,
bangsa dan negara baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk kelangsungan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Dan salah
satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan
masalah. “Pemecahan masalah merupakan salah satu topik yang penting dalam
mempelajari matematika” (Budhayanti, 2008).
Namun sampai saat ini masih banyak
peserta didik yang kurang termotivasi pada matematika. Tidak hanya pada saat
pendidikan dasar sampai menengah, tetapi juga pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Matematika dianggap pelajaran yang menakutkan dengan soal-soal
yang rumit, penuh hitungan dan rumus-rumus. Banyak juga yang menganggap
pelajaran matematika merupakan pelajaran yang tidak menyenangkan dan
membosankan, karena banyak hafalan. Hal ini dapat menyebabkan peserta didik
mengalami kesulitan belajar dan berakibat pada rendahnya kemampuan peserta
didik dalam menyelesaikan masalah matematika.
Permasalahan serupa dialami oleh peserta
didik kelas XI di SMKN 17 Jakarta. Hal ini dikarenakan peserta didik sering
mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah matematika. Selain itu, pemberian
soal yang jenisnya masih monoton juga mempengaruhi kemampuan peserta didik
dalam memecahkan masalah. Dalam proses pembelajaran, guru hanya memberikan
soal-soal yang ada di buku pegangan peserta didik, sehingga peserta didik
mengalami kesulitan ketika peserta didik diberikan soal yang menuntut adanya
proses pemecahan masalah dan berpikir yang lebih tinggi. Sedangkan untuk dapat
meningkatkan pengetahuan peserta didik, seorang guru harus mampu mencari materi
atau contoh soal dari berbagai sumber, terutama sumber yang dekat dengan
peserta didik, tidak hanya menjawab soal yang ada di buku pegangan. Hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika di SMKN 17
Jakarta yang mengatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah peserta didik kelas
XI SMKN 17 Jakarta masih rendah.
Berbicara tentang kemampuan, tentunya
pada jenjang pendidikan atas, peserta didik SMA dan SMK memiliki visi yang
berbeda. Peserta didik SMA umumnya dilatih daya kognitifnya, sedangkan peserta
didik SMK dilatih daya psikomotoriknya. Kemampuan yang dimaksud adalah mental vocational skill (kecakapan kejuruan).
Kecakapan vocational (vocational skill) sering disebut dengan
kecakapan kejuruan, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan
tertentu yang terdapat di masyarakat. Kecakapan kejuruan yang dimaksud
merupakan langkah mental vocational skill
yang harus disiapkan baik peserta didik SMA maupun SMK untuk menghadapi era
globalisasi yang berat saat ini. Apalagi untuk peserta didik SMK yang khusus
dipersiapkan langsung bekerja jika sudah lulus.
Selain kecakapan kejuruan, untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah dengan mengetahui
kemampuan metakognitif. Dengan pengetahuan dan keterampilan metakognitif ini,
para peserta didik sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Kemampuan
ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita
dalam menyelesaikan masalah terutama penyelesaian masalah matematika.
Dengan demikian, kemampuan metakognitif
dan mental kecakapan kejuruan (vocational
skill) memainkan peran penting dalam mendukung kesuksesan peserta didik
dalam memecahkan masalah matematika. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai
dengan kehidupan sehari-hari dan sekaligus melibatkan peran aktif peserta didik
dalam proses pembelajarannya. Untuk menguasai matematika peserta didik tidak
perlu menghafal semua rumus yang ada di dalamnya, akan tetapi memahami cara
untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin
mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara kemampuan
metakognitif dan mental vocational skill
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas XI SMKN 17 Jakarta.
TINJAUAN PUSTAKA
Hakikat
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan pemecahan masalah berarti kecakapan menerapkan
pengetahuan yang diperoleh sebelumnya ke dalam situasi yang belum dikenal.
Kemampuan pemecahan masalah matematis sangat bergantung dengan adanya masalah
yang ada di dalam matematika. Maka dari itu perlu adanya pembahasan mengenai
masalah matematis.
Hakim (2014: 200)
mengungkapkan bahwa “masalah matematika adalah soal-soal penerapan atau
soal-soal aplikasi dalam kehidupan sehari-hari pada pelajaran matematika dan
pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses untuk mengatasi kesulitan
yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan”.
Kennedy
dalam Abdurrahman (2012: 208), menyarankan empat langkah proses pemecahan
masalah matematika, yaitu: “(a) memahami masalah, (b) merencanakan pemecahan
masalah, (c) melaksanakan pemecahan masalah, dan (d) memeriksa kembali”.
Abdurrahman
(2012: 208), “dalam menghadapi masalah matematika, khususnya soal cerita,
peserta didik harus melakukan analisis dan interpretasi informasi sebagai
landasan untuk menentukan pilihan dan keputusan”. Dalam memecahkan masalah
matematika, peserta didik harus menguasai cara mengaplikasikan konsep-konsep
dan menggunakan keterampilan komputasi dalam berbagai situasi baru yang
berbeda-beda.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Shadiq,
2014: 1) menyatakan:
“Tujuan Pembelajaran matematika
nomor 3 di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah agar peserta
didik, memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan: (1)
memahami masalah, (2) merancang model matematikanya, (3) menyelesaikan model,
dan (4) menafsirkan solusi yang diperoleh”.
Dari
beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan
masalah matematika adalah suatu proses dan strategi mengatasi kesulitan
yang ditemui saat belajar matematika dengan menggunakan kekuatan
dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai tahap-tahap
pemecahan masalah, sehingga dapat membantu peserta didik mengingkatkan kekuatan
daya pikir kritis dan dapat membantu peserta didik menerapkannya dalam berbagai
situasi. Matematika juga menuntut kemampuan penalaran dalam mempelajarinya.
Dalam konteks ini belajar matematika secara keseluruhan merupakan belajar
memecahkan masalah.
Hakikat Kemampuan Metakognitif
Kemampuan
berasal dari kata mampu yang berarti sanggup, cakap dan kuat. Sehingga
kemampuan memiliki makna kesanggupan, kecakapan dan kekuatan.
Metakognitif
merupakan gabungan dari kata meta dan kognitif. Meta berasal dari kata Yunani
yang berarti setelah atau melebihi. Kognitif mencakup keterampilan yang
berhubungan dengan proses pemahaman dan berpikir seseorang. “Kognitif adalah
fungsi mental yang meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan
masalah” (Abdurrahman, 2012: 131). Kognitif berkaitan langsung dengan proses
belajar seseorang. Secara sederhana, metakognitif memiliki makna proses
berpikir dan pemahaman seseorang yang tingkatannya lebih dari proses kognitif.
Surya
(2015: 42), “metakognisi merupakan pengetahuan seseorang terhadap proses
berpikir mereka sendiri”. Metakognisi adalah sebuah ide seseorang dalam proses
berpikirnya.
Menurut
Flavell, dkk. (Slavin, 2008: 252), “metakognitif berarti pengetahuan tentang
pembelajaran diri sendiri atau tentang bagaimana belajar. Kemampuan berpikir
dan kemampuan studi adalah contoh kemampuan metakognitif (metacognitive skill)”. Dengan demikian, metakognitif dapat
dikatakan sebuah pengetahuan dan kemampuan berpikir bagaimana belajar.
Menurut
Sudiarta (2010: 25), “strategi metakognitif adalah strategi untuk merencanakan,
memonitoring, dan merefleksi seluruh aktivitas-aktivitas kognitif yang terjadi
dalam pembelajaran”. Hal ini berarti proses metakognitif adalah proses untuk
merencanakan, mengatur, mencerminkan aktivitas suatu pemahaman dalam
pembelajaran yang telah dilakukannya sehingga
peserta didik mengetahui apa yang diketahuinya dan apa yang tidak
diketahuinya.
Dari
beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan metakognitif adalah
pengenalan dan pengetahuan peserta didik dalam proses berpikirnya yaitu
bagaimana proses belajar, yang dapat mempengaruhi kehidupannya dan proses
metakognitif adalah keterampilan untuk merencanakan, mengatur, mencermikan
aktivitas suatu pemahaman dalam pembelajaran yang telah dilakukannya sehingga peserta didik mengetahui apa yang diketahuinya
dan apa yang tidak diketahuinya. Salah satu tujuan pembelajaran metakognitif
yaitu mengacu pada tahap-tahap pemecahan masalah. Sehingga melalui kemampuan
metakognitif peserta didik akan terbiasa untuk memecahkan masalah baik dalam
pembelajaran maupun dalam kehidupannya sehari-hari.
Hakikat Mental Vocational Skill
Pada
dasarnya istilah vocational skill
merupakan pengembangan dari life skills
yang menjadi bagian dari konsep pendidikan nasional.
Dirjen
PLSP, Direktorat Tenaga Teknis (2003), menyatakan “Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai
bimbingan terhadap kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani
menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan,
kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga
akhirnya mampu mengatasinya”.
Samani
dalam Suyono dan Hariyanto (2013: 178), mendefinisikan “kecakapan hidup sebagai
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan
kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif serta menemukan solusi untuk mengatasinya”. Samani dalam Suyono dan
Hariyanto (2013: 178) juga mengklasifikasikan kecakapan hidup menjadi empat
jenis, yaitu: “(a) kecakapan personal (personal
skill) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (b) kecakapan sosial (social skill), (c) kecakapan akademik (academic skill), dan (d) kecakapan
vokasional (vocational skill)”.
Selanjutnya
Khoiri, dkk. (2011: 86) mengungkapkan bahwa “kecakapan hidup merupakan
interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu
hidup mandiri”. Dengan demikian, kecakapan hidup adalah hubungan antar
pengetahuan agar seseorang mampu mandiri.
Menurut
Tim BBE Depdiknas dalam Masruroh (2016: 424) menjelaskan “kecakapan vokasional (vocational skill) sering disebut
keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang
pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat”. Keterampilan vokasional
berkaitan dengan bidang tertentu sesuai keahliannya, yang dapat digunakan untuk
memperoleh dan mengembangkan pekerjaan dan profesi supaya memperoleh kompensasi
finansial dan status yang layak.
Torahuddin
dalam Oktaviana (2016) mengatakan bahwa “vocational
skill dapat juga disebut dengan kecakapan kejuruan”. Artinya kecakapan ini
tidak hanya untuk menyiapkan anak didik yang mampu mengatasi dan memecahkan
permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik dan lebih tepat,
karena memiliki latar belakang keilmuan.
Kecakapan
tidak hanya menciptakan peserta didik agar mampu memecahkan permasalahan
kehidupan, juga mental vocational skill lebih
menekankan pada kemampuan sesuai jurusannya dalam menghadapi tantangan
kehidupan di tengah-tengah masyarakat dalam membangun karier untuk masa depan.
Dari
beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa vocational skill (kecakapan
kejuruan) adalah kecakapan atau keterampilan yang dikaitkan dengan bidang
pekerjaan agar dapat menghadapi tantangan kehidupan di tengah-tengah masyarakat
dalam membangun karier untuk masa depan dan untuk menciptakan peserta didik
yang mampu mengatasi dan memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi.
Pemahaman
dalam mental vocational skill di sini
bahwasannya suatu potensi keterampilan kerja yang dimiliki anak didik diasah
agar dapat memecahkan setiap permasalahan kehidupan yang dihadapi sebagai modal
untuk menjawab dari tantangan kehidupan mendatang. Sehingga kecakapan
vokasional dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat dan lebih cocok bagi anak didik yang menekuni pekerjaan di bidang
keterampilan psikomotorik daripada kecakapan berpikir ilmiah (kognitif). Oleh
karena itu, kecakapan vokasional lebih tepat bagi anak didik SMK, khusus
keterampilan atau program diploma. Dan pada keterampilan ini penulis akan
meneliti anak didik SMK.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di SMKN 17
Jakarta tahun ajaran 2016/2017. Dan penelitian ini terhadap kelas XI yang
dilaksanakan selama 4 bulan. Berikut adalah gambaran desain penelitian:
![]() |
Gambar 1. Desain
Penelitian
Keterangan:
X1 = kemampuan
metakognitif
X2 = mental vocational skill
Y = kemampuan pemecahan masalah matematika
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode survey. Populasi dalam penelelitian ini adalah seluruh peserta
didik kelas XI SMKN 17 Jakarta tahun
pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 172 peserta didik. Sampel diambil dari
populasi terjangkau dengan teknik simple
random sampling, yaitu sebanyak 34 peserta didik. Pengumpulan data
diperoleh dari peserta didik, dengan memberikan 22 butir pernyataan untuk
instrumen kemampuan metakognitif (X1), 5 butir soal tes untuk
instrumen mental vocational skill (X2),
dan 10 butir soal tes untuk instrumen kemampuan pemecahan masalah matematika
(Y).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Persyaratan Analisis
1.
Uji Normalitas
Tabel 1 Ringkasan Hasil
Uji Normalitas
|
Kelompok Data
|
Nilai
|
Keterangan
|
|
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
|
4,91
|
Data berdistribusi normal
|
|
Kemampuan Metakognitif
|
8,37
|
Data berdistribusi normal
|
|
Mental Vocational Skill
|
6,8759
|
Data berdistribusi normal
|
2.
Uji Linearitas
Uji linearitas
dilakukan untuk menguji apakah bentuk persamaan yang dihasilkan linear atau
tidak. Dengan kriteria pengujian:
Terima H0 jika Fhitung
< Ftabel yaitu regresi berpola linear
Tolak H0 jika Fhitung
> Ftabel yaitu regresi berpola tidak linear
a.
Uji
Linearitas X1 terhadap Y
Tabel 2
Tabel Penolong ANAVA untuk Uji Linearitas
Regresi
Kemampuan Metakognitif
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
|
Sumber Varians(SV)
|
Dk
|
JK
|
RJK
|
Fhitung
|
Ftabel
|
|
Total
|
34
|
154052
|
-
|
0,224
|
2,28
|
|
Regresi (a)
Regresi (b|a)
Residu
|
1
1
32
|
144431,06
101,89
9519,05
|
144431,06
101,89
201,1
|
||
|
Tuna Cocok
Kesalahan (error)
|
21
11
|
1927,8
4507,75
|
91,8
409,79
|
Kesimpulan setelah membandingkan Fhitung
dengan Ftabel ternyata Fhitung < Ftabel
atau 0,224 < 2,28 maka data berpola linear.
b.
Uji
Linieritas X2 terhadap Y
Tabel 2
Tabel Penolong ANAVA untuk Uji Linearitas
Regresi
Mental Vocational
Skill Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
|
Sumber Varians(SV)
|
Dk
|
JK
|
RJK
|
Fhitung
|
Ftabel
|
|
Total
|
34
|
154052
|
-
|
0,863
|
2,28
|
|
Regresi (a)
Regresi (b|a)
Residu
|
1
1
32
|
144431,06
4,21
9616,73
|
144431,06
4,21
300,52
|
||
|
Tuna Cocok
Kesalahan (error)
|
19
23
|
5346,03
4252,7
|
282,32
327,13
|
Kesimpulan setelah membandingkan Fhitung
dengan Ftabel ternyata Fhitung < Ftabel
atau 0,863 < 2,28 maka data berpola
linear.
c.
Uji Multikolinearitas
Dari perhitungan diperoleh nilai VIF = 1,842 < 10 dan
nilai Tolerance = 0,543 > 0,1;
sehingga disimpulkan tidak terdapat kolinearitas/multikolinearitas antara X1
dan X2 dalam model regresi.
Pengujian Hipotesis
1.
Uji Hipotesis Korelasi Ganda
a.
Koefisien Korelasi Ganda
Hipotesis
verbal yang diuji:
H0 : tidak terdapat hubungan antara X1
dengan X2 simultan dengan Y
H1 : terdapat hubungan antara X1
dengan X2 simultan dengan Y
Dari hasil
perhitungan, ditetapkan α=0,05
untuk dkpembilang = k = 2 dan dkpenyebut= n-k-1 = 31 diperoleh
Ftabel = 3,30. Dari hasil diatas, ternyata Fhitung > Ftabel
atau 6,337
> 3,30 maka H0
ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan metakognitif (X1)
dan mental
vocational skill (X2) secara simultan terhadap kemampuan
pemecahan
masalah matematika (Y).
b.
Koefisien Korelasi Y
atas X1
Dari hasil perhitungan, ditetapkan α=0,05 untuk dk n-2 = 32 untuk uji dua
pihak diperoleh ttabel = 2,02. Dari hasil diatas, ternyata thitung
<
ttabel
atau
-58,9 < 2,02 maka H0
diterima dan dapat
disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan
antara kemampuan metakognitif (X1) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
c.
Koefisien Korelasi Y
atas X2
Dari hasil perhitungan, ditetapkan α=0,05
untuk dk n-2 = 32 untuk uji dua
pihak diperoleh ttabel = 2,02. Dari hasil diatas, ternyata thitung
< ttabel
atau -4,66 < 2,02
maka H0 diterima dan dapat
disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan
antara mental
vocational skill (X2) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
2.
Uji Hipotesis Regresi Ganda
a.
Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diuji:
H0 : regresi ganda Y atas X1 dan X2
tidak berarti/tidak nyata (tidak signifikan)
H1 : regresi Y atas X1 dan X2
nyata/berarti (signifikan)
Hasil yang
diperoleh adalah Fh < Ft (2,81 < 3,30), maka H0
diterima dan disimpulkan tidak terdapat pengaruh signifikan kemampuan
metakognitif (X1) dan mental vocational
skill (X2) secara bersama-sama terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika (Y).
b.
Menguji keberartian koefisien regresi b1 (kekeliruan baku
koefisien regersi X1)
H0 : regresi ganda Y atas X1 tidak
signifikan
H1 : regresi ganda Y atas X1
signifikan
atau secara statistik:
H0
: β1 = 0 ; H0 : β1 ≠ 0
Dari hasil perhitungan,
ternyata (0,202 < 2,01) maka H0 diterima, dan disimpulkan tidak
terdapat pengaruh yang signifikan kemampuan metakognitif (X1)
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
c.
Menguji keberartian koefisien regresi b2 (kekeliruan baku
koefisien regersi X2)
H0 : regresi ganda Y atas X2 tidak signifikan
H1 : regresi ganda Y atas X2 signifikan
atau secara statistik:
H0
: β2 = 0 ; H0
: β2 ≠ 0
Dari hasil di atas,
ternyata (-0,421 < 2,01) maka H0 diterima, dan disimpulkan tidak
terdapat pengaruh yang signifikan mental vocational
skill (X2) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y)
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan
analisis data yang diperoleh melalui survey menggunakan angket dan tes kepada
34 peserta didik kelas XI SMKN 17 Jakarta sebagai responden. Hasil penelitian
ini dapat disimpulkan antara lain:
1.
Tidak terdapat pengaruh antara kemampuan
metakognitif dan mental vocational skill
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
2.
Tidak terdapat pengaruh antara kemampuan
metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
3.
Tidak terdapat pengaruh antara mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika.
Saran
1.
Peserta didik sebaiknya memiliki
kesadaran akan potensi yang ada pada dirinya dan modal yang telah ada untuk
mendukung dari potensi ini ditambah dengan motivasi belajar yang tinggi akan
tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga keberhasilan akan sesuatu yang
diharapkan akan dapat diraih dengan hasil belajar yang optimal terutama dalam
memecahkan suatu permasalahan matematika.
2.
Guru seyogyanya mampu membuka cakrawala
berpikir peserta didiknya, sehingga peserta didik mampu melihat dirinya dan
alam sekitarnya, dan peserta didik mampu menempatkan dirinya di tempat yang
sesuai dengan apa yang telah dimilikinya.
3.
Orang tua sebaiknya memberikan dan mendukung
segala aktivitas anaknya, dan harus membantu mengembangkan dalam proses
belajarnya sehingga peserta didik mampu menyelesaikan masalah-masalah dan
mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Budhayanti, Clara Ika Sari, dkk. (2008). Pemecahan Masalah Matematika. Jakarta:
Dikti.
Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis. (2008). Peristilahan Umum dalam Program Pendidikan
Kecakapan Hidup (Life Skills). (https://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/peristilahan-umum-dalam-program-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/
diakses pada 14 Mei 2017 pukul 09.41).
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Hakim, Arif Rahman. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Generatif Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika. Jurnal Formatif, 4(3): 196-207.
Khoiri,
Nur, dkk. (2011). Pengembangan Perangkat
Pembelajaran Fisika Berbasis Life Skill Untuk Meningkatkan Minat Kewirausahaan
Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7: 84-88.
Liberna,
Hawa dan Yogi Wiratomo. (2014). Metode
Pembelajaran Matematika. Jakarta: Mitra Abadi.
Margono, S. (2014). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Masruroh, Zumrotul. (2016). Manajemen Pendidikan Keterampilan (Vocational Skill) di MAN
Kembangsawit. Muslim Heritage, Vol.1, No.2, November 2016 – April 2017.
Oktaviana,
Desi. (2016). Implikasi Discovery
Strategi dalam Mengembangkan Mental Vocational Skill Siswa Praktik Kerja
Industri. (http://digilib.uin-suka.ac.id/21112/2/12220035_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf, diakses pada 22 April 2017 pukul 09.40)
Rusman.
(2012). Model-Model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Shadiq,
Fadjar. (2014). Belajar Memecahkan
Masalah Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Slavin,
E. Robert. (2008). Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: Indeks.
Sudiarta.
(2010). Pengembangan Model Pembelajaran
Inovatif. Undhiksa. Disampaikan dalam Pendidikan dan Pelatihan MGMP Matematika
SMK, Kabupaten Karangasem, Agustus 2010.
Sudjana,
Nana. (2009). Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono.
(2015). Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supardi,
U.S. (2016). Aplikasi Statistika Dalam
Penelitian. Jakarta: PT. Prima Ufuk Semesta.
Suriasumantri, Jujun S. (2013). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pusaka Sinar Harapan.
Surya,
Mohamad. (2015). Strategi Kognitif dalam
Proses Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Suyono
dan Hariyanto. (2013). Belajar dan
Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tirtarahardja,
Umar dan La Sulo. (2008). Pengantar Pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Uno,
Hamzah B. (2011). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
SEMOGA BERMANFAAT. AAMIIN
