Senin, 13 November 2017

Artikel Pengaruh Kemampuan Metakognitif dan Mental Vocational Skill Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Kelas XI SMKN 17 Jakarta

PENGARUH KEMAMPUAN METAKOGNITIF DAN MENTAL VOCATIONAL SKILL TERHADAP KEMAMPUAN
PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
KELAS XI SMKN 17 JAKARTA

Nurina Hidayati
Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Teknik, Matematika dan IPA
Universitas Indraprasta PGRI

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kemampuan metakognitif dan mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Metode yang digunakan adalah metode survey. Sampel penelitian meliputi 34 peserta didik dengan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen penelitian dengan memberikan 22 pertanyaan untuk variabel X1, 15 pertanyaan untuk variabel X2, dan 10 butir soal untuk variabel Y pada peserta didik kelas XI SMKN 17 Jakarta Tahun Ajaran 2016/2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kemampuan metakognitif dan mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika, 2) tidak terdapat pengaruh kemampuan metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika, 3) tidak terdapat pengaruh mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
Kata Kunci: Kemampuan Metakognitif, Mental Vocational Skill, Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi persaingan di dunia semakin ketat. Kualitas sumber daya, khususnya sumber daya manusia menjadi penentu kemandirian suatu bangsa. Secara tidak langsung suatu bangsa dituntut untuk mempunyai sumber daya manusia yang mempunyai kualitas tinggi dan mampu bersaing di era globalisasi. Salah satu wadah untuk menciptakan manusia yang mempunyai kualitas tinggi adalah dengan pendidikan. Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia tersebut.
Fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia salah satunya adalah untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, yang cerdas intelektualnya, kreatif, inovatif, dan mempunyai iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Tirtarahardja dan La Sulo (2008: 130), dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan”. Oleh karena itu, pendidikan perlu dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan teratur serta pelaksanaan pendidikan didukung oleh partisipasi aktif pemerintah, berbagai kelompok masyarakat, pihak orang tua dan dewan pendidikan.
Dan salah satu mata pelajaran yang paling berperan dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah mata pelajaran matematika. Matematika merupakan ilmu pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik. Selain sebagai ilmu pengetahuan dasar, matematika juga merupakan sarana berpikir ilmilah yang sangat diperlukan peserta didik untuk mengembangkan cara berpikir mereka setelah terjun ke masyarakat.  Uno (2011: 129) menyimpulkan bahwa “matematika adalah sebagai suatu bidang ilmu yang merupakan alat pikir, berkomunikasi, alat untuk memecahkan berbagai persoalan praktis, yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas dan individualitas”.
Melalui matematika peserta didik diharapkan memiliki potensi yang baik sebagai pribadi anggota masyarakat, bangsa dan negara baik untuk dirinya sendiri  maupun untuk kelangsungan hidup sehari-hari dalam masyarakat. Dan salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah. “Pemecahan masalah merupakan salah satu topik yang penting dalam mempelajari matematika” (Budhayanti, 2008).
Namun sampai saat ini masih banyak peserta didik yang kurang termotivasi pada matematika. Tidak hanya pada saat pendidikan dasar sampai menengah, tetapi juga pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Matematika dianggap pelajaran yang menakutkan dengan soal-soal yang rumit, penuh hitungan dan rumus-rumus. Banyak juga yang menganggap pelajaran matematika merupakan pelajaran yang tidak menyenangkan dan membosankan, karena banyak hafalan. Hal ini dapat menyebabkan peserta didik mengalami kesulitan belajar dan berakibat pada rendahnya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematika.
Permasalahan serupa dialami oleh peserta didik kelas XI di SMKN 17 Jakarta. Hal ini dikarenakan peserta didik sering mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah matematika. Selain itu, pemberian soal yang jenisnya masih monoton juga mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Dalam proses pembelajaran, guru hanya memberikan soal-soal yang ada di buku pegangan peserta didik, sehingga peserta didik mengalami kesulitan ketika peserta didik diberikan soal yang menuntut adanya proses pemecahan masalah dan berpikir yang lebih tinggi. Sedangkan untuk dapat meningkatkan pengetahuan peserta didik, seorang guru harus mampu mencari materi atau contoh soal dari berbagai sumber, terutama sumber yang dekat dengan peserta didik, tidak hanya menjawab soal yang ada di buku pegangan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran matematika di SMKN 17 Jakarta yang mengatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah peserta didik kelas XI SMKN 17 Jakarta masih rendah.
Berbicara tentang kemampuan, tentunya pada jenjang pendidikan atas, peserta didik SMA dan SMK memiliki visi yang berbeda. Peserta didik SMA umumnya dilatih daya kognitifnya, sedangkan peserta didik SMK dilatih daya psikomotoriknya. Kemampuan yang dimaksud adalah mental vocational skill (kecakapan kejuruan). Kecakapan vocational (vocational skill) sering disebut dengan kecakapan kejuruan, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat. Kecakapan kejuruan yang dimaksud merupakan langkah mental vocational skill yang harus disiapkan baik peserta didik SMA maupun SMK untuk menghadapi era globalisasi yang berat saat ini. Apalagi untuk peserta didik SMK yang khusus dipersiapkan langsung bekerja jika sudah lulus.
Selain kecakapan kejuruan, untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika adalah dengan mengetahui kemampuan metakognitif. Dengan pengetahuan dan keterampilan metakognitif ini, para peserta didik sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan kognitif kita dalam menyelesaikan masalah terutama penyelesaian masalah matematika.
Dengan demikian, kemampuan metakognitif dan mental kecakapan kejuruan (vocational skill) memainkan peran penting dalam mendukung kesuksesan peserta didik dalam memecahkan masalah matematika. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan sekaligus melibatkan peran aktif peserta didik dalam proses pembelajarannya. Untuk menguasai matematika peserta didik tidak perlu menghafal semua rumus yang ada di dalamnya, akan tetapi memahami cara untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara kemampuan metakognitif dan mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika kelas XI SMKN 17 Jakarta.

TINJAUAN PUSTAKA
Hakikat Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan pemecahan masalah berarti kecakapan menerapkan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya ke dalam situasi yang belum dikenal. Kemampuan pemecahan masalah matematis sangat bergantung dengan adanya masalah yang ada di dalam matematika. Maka dari itu perlu adanya pembahasan mengenai masalah matematis. 
Hakim (2014: 200) mengungkapkan bahwa “masalah matematika adalah soal-soal penerapan atau soal-soal aplikasi dalam kehidupan sehari-hari pada pelajaran matematika dan pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses untuk mengatasi kesulitan yang ditemui untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan”. 
Kennedy dalam Abdurrahman (2012: 208), menyarankan empat langkah proses pemecahan masalah matematika, yaitu: “(a) memahami masalah, (b) merencanakan pemecahan masalah, (c) melaksanakan pemecahan masalah, dan (d) memeriksa kembali”.
Abdurrahman (2012: 208), “dalam menghadapi masalah matematika, khususnya soal cerita, peserta didik harus melakukan analisis dan interpretasi informasi sebagai landasan untuk menentukan pilihan dan keputusan”. Dalam memecahkan masalah matematika, peserta didik harus menguasai cara mengaplikasikan konsep-konsep dan menggunakan keterampilan komputasi dalam berbagai situasi baru yang berbeda-beda.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (Shadiq, 2014: 1) menyatakan: “Tujuan Pembelajaran matematika nomor 3 di Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah agar peserta didik, memiliki kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan: (1) memahami masalah, (2) merancang model matematikanya, (3) menyelesaikan model, dan (4) menafsirkan solusi yang diperoleh”.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika adalah suatu proses dan strategi mengatasi kesulitan yang ditemui saat belajar matematika dengan menggunakan kekuatan dan manfaat matematika dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai tahap-tahap pemecahan masalah, sehingga dapat membantu peserta didik mengingkatkan kekuatan daya pikir kritis dan dapat membantu peserta didik menerapkannya dalam berbagai situasi. Matematika juga menuntut kemampuan penalaran dalam mempelajarinya. Dalam konteks ini belajar matematika secara keseluruhan merupakan belajar memecahkan masalah.

Hakikat Kemampuan Metakognitif
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti sanggup, cakap dan kuat. Sehingga kemampuan memiliki makna kesanggupan, kecakapan dan kekuatan.
Metakognitif merupakan gabungan dari kata meta dan kognitif. Meta berasal dari kata Yunani yang berarti setelah atau melebihi. Kognitif mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses pemahaman dan berpikir seseorang. “Kognitif adalah fungsi mental yang meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah” (Abdurrahman, 2012: 131). Kognitif berkaitan langsung dengan proses belajar seseorang. Secara sederhana, metakognitif memiliki makna proses berpikir dan pemahaman seseorang yang tingkatannya lebih dari proses kognitif.
Surya (2015: 42), “metakognisi merupakan pengetahuan seseorang terhadap proses berpikir mereka sendiri”. Metakognisi adalah sebuah ide seseorang dalam proses berpikirnya.
Menurut Flavell, dkk. (Slavin, 2008: 252), “metakognitif berarti pengetahuan tentang pembelajaran diri sendiri atau tentang bagaimana belajar. Kemampuan berpikir dan kemampuan studi adalah contoh kemampuan metakognitif (metacognitive skill)”. Dengan demikian, metakognitif dapat dikatakan sebuah pengetahuan dan kemampuan berpikir bagaimana belajar.
Menurut Sudiarta (2010: 25), “strategi metakognitif adalah strategi untuk merencanakan, memonitoring, dan merefleksi seluruh aktivitas-aktivitas kognitif yang terjadi dalam pembelajaran”. Hal ini berarti proses metakognitif adalah proses untuk merencanakan, mengatur, mencerminkan aktivitas suatu pemahaman dalam pembelajaran yang telah dilakukannya sehingga  peserta didik mengetahui apa yang diketahuinya dan apa yang tidak diketahuinya.
Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan metakognitif adalah pengenalan dan pengetahuan peserta didik dalam proses berpikirnya yaitu bagaimana proses belajar, yang dapat mempengaruhi kehidupannya dan proses metakognitif adalah keterampilan untuk merencanakan, mengatur, mencermikan aktivitas suatu pemahaman dalam pembelajaran yang telah dilakukannya sehingga  peserta didik mengetahui apa yang diketahuinya dan apa yang tidak diketahuinya. Salah satu tujuan pembelajaran metakognitif yaitu mengacu pada tahap-tahap pemecahan masalah. Sehingga melalui kemampuan metakognitif peserta didik akan terbiasa untuk memecahkan masalah baik dalam pembelajaran maupun dalam kehidupannya sehari-hari.

Hakikat Mental Vocational Skill
Pada dasarnya istilah vocational skill merupakan pengembangan dari life skills yang menjadi bagian dari konsep pendidikan nasional.
Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis (2003), menyatakan “Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai bimbingan terhadap kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya”.
Samani dalam Suyono dan Hariyanto (2013: 178), mendefinisikan “kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif serta menemukan solusi untuk mengatasinya”. Samani dalam Suyono dan Hariyanto (2013: 178) juga mengklasifikasikan kecakapan hidup menjadi empat jenis, yaitu: “(a) kecakapan personal (personal skill) yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (b) kecakapan sosial (social skill), (c) kecakapan akademik (academic skill), dan (d) kecakapan vokasional (vocational skill)”.
Selanjutnya Khoiri, dkk. (2011: 86) mengungkapkan bahwa “kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri”. Dengan demikian, kecakapan hidup adalah hubungan antar pengetahuan agar seseorang mampu mandiri.
Menurut Tim BBE Depdiknas dalam Masruroh (2016: 424) menjelaskan “kecakapan vokasional (vocational skill) sering disebut keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat”. Keterampilan vokasional berkaitan dengan bidang tertentu sesuai keahliannya, yang dapat digunakan untuk memperoleh dan mengembangkan pekerjaan dan profesi supaya memperoleh kompensasi finansial dan status yang layak.
Torahuddin dalam Oktaviana (2016) mengatakan bahwa “vocational skill dapat juga disebut dengan kecakapan kejuruan”. Artinya kecakapan ini tidak hanya untuk menyiapkan anak didik yang mampu mengatasi dan memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi dengan cara lebih baik dan lebih tepat, karena memiliki latar belakang keilmuan.
Kecakapan tidak hanya menciptakan peserta didik agar mampu memecahkan permasalahan kehidupan, juga mental vocational skill lebih menekankan pada kemampuan sesuai jurusannya dalam menghadapi tantangan kehidupan di tengah-tengah masyarakat dalam membangun karier untuk masa depan.
Dari beberapa teori di atas, dapat disimpulkan bahwa vocational  skill (kecakapan kejuruan) adalah kecakapan atau keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan agar dapat menghadapi tantangan kehidupan di tengah-tengah masyarakat dalam membangun karier untuk masa depan dan untuk menciptakan peserta didik yang mampu mengatasi dan memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi.
Pemahaman dalam mental vocational skill di sini bahwasannya suatu potensi keterampilan kerja yang dimiliki anak didik diasah agar dapat memecahkan setiap permasalahan kehidupan yang dihadapi sebagai modal untuk menjawab dari tantangan kehidupan mendatang. Sehingga kecakapan vokasional dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat dan lebih cocok bagi anak didik yang menekuni pekerjaan di bidang keterampilan psikomotorik daripada kecakapan berpikir ilmiah (kognitif). Oleh karena itu, kecakapan vokasional lebih tepat bagi anak didik SMK, khusus keterampilan atau program diploma. Dan pada keterampilan ini penulis akan meneliti anak didik SMK.

METODE
Penelitian ini dilaksanakan di SMKN 17 Jakarta tahun ajaran 2016/2017. Dan penelitian ini terhadap kelas XI yang dilaksanakan selama 4 bulan. Berikut adalah gambaran desain penelitian:
 






Gambar 1. Desain Penelitian

Keterangan:
X1 = kemampuan metakognitif
X2 = mental vocational skill
Y   = kemampuan pemecahan masalah matematika
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Populasi dalam penelelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI  SMKN 17 Jakarta tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 172 peserta didik. Sampel diambil dari populasi terjangkau dengan teknik simple random sampling, yaitu sebanyak 34 peserta didik. Pengumpulan data diperoleh dari peserta didik, dengan memberikan 22 butir pernyataan untuk instrumen kemampuan metakognitif (X1), 5 butir soal tes untuk instrumen mental vocational skill (X2), dan 10 butir soal tes untuk instrumen kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Persyaratan Analisis
1.        Uji Normalitas
Tabel 1 Ringkasan Hasil Uji Normalitas
Kelompok Data
Nilai
Keterangan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
4,91
Data berdistribusi normal
Kemampuan Metakognitif
8,37
Data berdistribusi normal
Mental Vocational Skill
6,8759
Data berdistribusi normal
2.        Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk menguji apakah bentuk persamaan yang dihasilkan linear atau tidak. Dengan kriteria pengujian:
Terima H0 jika Fhitung < Ftabel yaitu regresi berpola linear 
Tolak H0 jika Fhitung > Ftabel yaitu regresi berpola tidak linear
a.        Uji Linearitas X1 terhadap Y
Tabel 2
Tabel Penolong ANAVA untuk Uji Linearitas Regresi
Kemampuan Metakognitif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Sumber Varians(SV)
Dk
JK
RJK
Fhitung
Ftabel
Total
34
154052
-





0,224





2,28
Regresi (a)
Regresi (b|a)
Residu
1
1
32
144431,06
101,89
9519,05
144431,06
101,89
201,1
Tuna Cocok
Kesalahan (error)
21
11
1927,8
4507,75
91,8
409,79
Kesimpulan setelah membandingkan Fhitung dengan Ftabel ternyata Fhitung < Ftabel atau 0,224 < 2,28 maka data berpola linear.
b.        Uji Linieritas X2 terhadap Y
Tabel 2
Tabel Penolong ANAVA untuk Uji Linearitas Regresi
Mental Vocational Skill Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Sumber Varians(SV)
Dk
JK
RJK
Fhitung
Ftabel
Total
34
154052
-





0,863





2,28
Regresi (a)
Regresi (b|a)
Residu
1
1
32
144431,06
4,21
9616,73
144431,06
4,21
300,52
Tuna Cocok
Kesalahan (error)
19
23
5346,03
4252,7
282,32
327,13
Kesimpulan setelah membandingkan Fhitung dengan Ftabel ternyata Fhitung < Ftabel atau 0,863 < 2,28 maka data berpola linear.
c.         Uji Multikolinearitas
Dari perhitungan diperoleh nilai VIF = 1,842 < 10 dan nilai Tolerance = 0,543 > 0,1; sehingga disimpulkan tidak terdapat kolinearitas/multikolinearitas antara X1 dan X2 dalam model regresi.


Pengujian Hipotesis
1.        Uji Hipotesis Korelasi Ganda
a.        Koefisien Korelasi Ganda
Hipotesis verbal yang diuji:
H0 : tidak terdapat hubungan antara X1 dengan X2 simultan dengan Y
H1 : terdapat hubungan antara X1 dengan X2 simultan dengan Y
Dari hasil perhitungan, ditetapkan α=0,05 untuk dkpembilang = k = 2 dan dkpenyebut= n-k-1 = 31 diperoleh Ftabel = 3,30. Dari hasil diatas, ternyata Fhitung > Ftabel atau 6,337 > 3,30 maka H0 ditolak dan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan metakognitif (X1) dan mental vocational skill (X2) secara simultan terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
b.        Koefisien Korelasi Y atas X1
Dari hasil perhitungan, ditetapkan α=0,05 untuk dk n-2 = 32 untuk uji dua pihak diperoleh ttabel = 2,02. Dari hasil diatas, ternyata thitung < ttabel atau -58,9 < 2,02 maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kemampuan metakognitif (X1) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
c.         Koefisien Korelasi Y atas X2
Dari hasil perhitungan, ditetapkan α=0,05 untuk dk n-2 = 32 untuk uji dua pihak diperoleh ttabel = 2,02. Dari hasil diatas, ternyata thitung < ttabel atau            -4,66 < 2,02 maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara mental vocational skill (X2) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
2.        Uji Hipotesis Regresi Ganda
a.        Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diuji:
H0 : regresi ganda Y atas X1 dan X2 tidak berarti/tidak nyata (tidak signifikan)
H1 : regresi Y atas X1 dan X2 nyata/berarti (signifikan)
Hasil yang diperoleh adalah Fh < Ft (2,81 < 3,30), maka H0 diterima dan disimpulkan tidak terdapat pengaruh signifikan kemampuan metakognitif (X1) dan mental vocational skill (X2) secara bersama-sama terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).
b.        Menguji keberartian koefisien regresi b1 (kekeliruan baku koefisien regersi X1)
H0 : regresi ganda Y atas X1 tidak signifikan
H1 : regresi ganda Y atas X1 signifikan
atau secara statistik:
H0 : β1 = 0 ; H0 : β1 ≠ 0
Dari hasil perhitungan, ternyata (0,202 < 2,01) maka H0 diterima, dan disimpulkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan kemampuan metakognitif (X1) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y).

c.         Menguji keberartian koefisien regresi b2 (kekeliruan baku koefisien regersi X2)
H0 : regresi ganda Y atas X2 tidak signifikan
H1 : regresi ganda Y atas X2 signifikan
atau secara statistik:
H0 : β2 = 0 ; H0 : β2 ≠ 0
Dari hasil di atas, ternyata (-0,421 < 2,01) maka H0 diterima, dan disimpulkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan mental vocational skill (X2) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (Y)
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis data yang diperoleh melalui survey menggunakan angket dan tes kepada 34 peserta didik kelas XI SMKN 17 Jakarta sebagai responden. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan antara lain:
1.        Tidak terdapat pengaruh antara kemampuan metakognitif dan mental vocational skill terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
2.        Tidak terdapat pengaruh antara kemampuan metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
3.        Tidak terdapat pengaruh antara mental vocational skill  terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika.
Saran
1.        Peserta didik sebaiknya memiliki kesadaran akan potensi yang ada pada dirinya dan modal yang telah ada untuk mendukung dari potensi ini ditambah dengan motivasi belajar yang tinggi akan tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga keberhasilan akan sesuatu yang diharapkan akan dapat diraih dengan hasil belajar yang optimal terutama dalam memecahkan suatu permasalahan matematika.
2.        Guru seyogyanya mampu membuka cakrawala berpikir peserta didiknya, sehingga peserta didik mampu melihat dirinya dan alam sekitarnya, dan peserta didik mampu menempatkan dirinya di tempat yang sesuai dengan apa yang telah dimilikinya.
3.        Orang tua sebaiknya memberikan dan mendukung segala aktivitas anaknya, dan harus membantu mengembangkan dalam proses belajarnya sehingga peserta didik mampu menyelesaikan masalah-masalah dan mendapatkan hasil yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. (2012). Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Budhayanti, Clara Ika Sari, dkk. (2008). Pemecahan Masalah Matematika. Jakarta: Dikti.
Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis. (2008). Peristilahan Umum dalam Program Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills). (https://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/peristilahan-umum-dalam-program-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/ diakses pada 14 Mei 2017 pukul 09.41).
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. (2010). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hakim, Arif Rahman. (2014). Pengaruh Model Pembelajaran Generatif Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika. Jurnal Formatif, 4(3): 196-207.
Khoiri, Nur, dkk. (2011). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Fisika Berbasis Life Skill Untuk Meningkatkan Minat Kewirausahaan Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7: 84-88.
Liberna, Hawa dan Yogi Wiratomo. (2014). Metode Pembelajaran Matematika. Jakarta: Mitra Abadi.
Margono, S. (2014). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Masruroh, Zumrotul. (2016). Manajemen Pendidikan Keterampilan (Vocational Skill) di MAN Kembangsawit. Muslim Heritage, Vol.1, No.2, November 2016 – April 2017.
Oktaviana, Desi. (2016). Implikasi Discovery Strategi dalam Mengembangkan Mental Vocational Skill Siswa Praktik Kerja Industri. (http://digilib.uin-suka.ac.id/21112/2/12220035_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf, diakses pada 22 April 2017 pukul 09.40)
Rusman. (2012). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Shadiq, Fadjar. (2014). Belajar Memecahkan Masalah Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Slavin, E. Robert. (2008).  Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: Indeks.
Sudiarta. (2010). Pengembangan Model Pembelajaran Inovatif. Undhiksa. Disampaikan dalam Pendidikan dan Pelatihan MGMP Matematika SMK, Kabupaten Karangasem, Agustus 2010.
Sudjana, Nana. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Supardi, U.S. (2016). Aplikasi Statistika Dalam Penelitian. Jakarta: PT. Prima Ufuk Semesta.
Suriasumantri, Jujun S. (2013). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pusaka Sinar Harapan.
Surya, Mohamad. (2015). Strategi Kognitif dalam Proses Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Suyono dan Hariyanto. (2013). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tirtarahardja, Umar dan La Sulo. (2008). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Uno, Hamzah B.  (2011). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.


SEMOGA BERMANFAAT. AAMIIN